mirandika

BiNusian weblog

Latar Belakang Permasalahan

March29

Pembuat mainan terbesar keempat didunia ini menjual €1 milyar mainan di tahun 2004, mulai dari mainan balok yang disebut snap-together bricks untuk anak-anak hingga Mindstroms; robot rancang-sendiri (do-it-yourself robotkit) untuk remaja. Bahkan untuk di-era dunia digital ini, Lego tetap bisa mempertahankan popularitasnya. Tingkat popularitas Lego mencapai puncaknya di tahun 2000 saat British Association of Toy Retailers dan majalah Fortune memberikan predikat “Toy of the century”.   Tapi finansial Lego Group berkata lain. Tidak hanya dipuja oleh anak-anak di seluruh dunia, perusahaan yang bertempat di Billund, Denmark ini juga mengalami sebuah masalah. Lego Group kehilangan banyak uang 7 tahun terakhir dari 1998 hingga 2004. Penjualan menurun 30% di tahun 2003 dan tambah menurun 10% di tahun 2004, dan marjin keuntungan berada di –30%. Para eksekutif di Lego Group memperkirakan perusahaan tersebut menyia-nyiakan €250,000 setiap tahunnya.   Bagaimana bisa perusahaan pembuat mainan raksasa yang sukses dimata publik tersebut ternyata kehilangan uang yang begitu besar? Beberapa pengamat memperkirakan keadaan ini disebabkan karena diverensiasi bisnis Lego yang terlalu banyak seperti produk-produk fashion dan taman bermain. Dan beberapa pihak lain menyalahkan meledaknya gim di era digital ini dan produk-produk mainan buatan Cina.   Walaupun beberapa hipotesa diatas benar, banyak faktor lain yang menghambat kesuksesan Lego, salah satunya supply chain. Supply chain Lego Group sudah kadaluarsa lebih dari 10 tahun. Pelayanan pelanggan yang buruk dan tidak meratanya pendistribusian produk di pasaran menggerogoti perusahaan sedikit demi sedikit.   Strategi supply chain dari gudang hingga ditangan pelanggan yang dilakukan oleh Lego Group adalah: Lego Group mengirimkan produknya kepada retail-retail kecil yang terdapat di dalam database Lego Group sejak tahun 1950. Dari tahun 1950 hingga 1990 sistem seperti itu berjalan lancar namun setelah itu sistem tersebut perlahan-lahan mulai gagal. Di tahun 1990an, kompetitor Lego mulai menguasai retail raksasa seperti Wall Mart dan Carefour. Namun, Lego Group belum menyadari bahwa hal tersebut menjadi ancaman bagi perusahaannya. Mereka selalu berpikir untuk tetap fokus dalam membangun brand Lego. Padahal, brand Lego sudah dikenal sebagai salah satu mainan yang paling sukses di dunia.   Padahal bila Lego men-supply produknya ke retail raksasa seperti Wall Mart atau Carefour, Lego akan meraup keuntungan yang lebih. Gaya hidup masyarakat sudah mulai berubah di tahun 1990an. Para ibu lebih suka berbelanja di retail-retail raksasa tersebut. Karena disana semuanya tersedia, mulai dari bahan makanan hingga garmen. Tidak ketinggalan mainan. Oleh karena itu, para ibu akan cenderung untuk membawa anak mereka membeli mainan di retail tersebut sembari membeli bahan makanan. Hal tersebut tidak dapat dilakukan apabila membawa anaknya ke retail mainan. Produk kompetitor Hot Wheels produksi dari Mattel Company sudah menjalankan strageti tersebut. Dan terbukti berhasil. Bahkan di Indonesia, kita dapat menemukan Hot Wheels di retail-retail kecil di sekitar perumahan penduduk.   Untuk membangun kembali keuntungan yang hilang, Lego Group berusaha memperbaiki semua aspek supply chain perusahaan tersebut. Mulai dari menghilangkan semua titik ketidak-efisiensian hingga mencari stategi baru untuk menguasai pasar. Bukan pekerjaan mudah bagi perusahaan yang dipimpin oleh CEO Jorgen Vig Knudstorp tahun 2004 telah memiliki lebih dari 7000 pekerja yang bekerja di 2 pabrik dan 3 pusat pengepakan di 5 negara yang berbeda.

Super Lego Mario (Level 3) on YouTube

posted under Lego Cases

Email will not be published

Website example

Your Comment: